Akses Obat untuk Pasien Hepatitis C Disertai PGK Perlu Dipercepat

Akses Obat untuk Pasien Hepatitis C Disertai PGK Perlu Dipercepat

Suara.com - Persoalan terbesar infeksi organ hati (liver) atau dikenal dengan hepatitis, baik yang disebabkan virus hepatitis B dan C, merupakan masalah kesehatan yang banyak diabaikan oleh masyarakat. Ini terjadi lantaran penyakit tersebut tidak bergejala.

Kebanyakan pasien terdiagnosis ketika kerusakan hati sudah masuk ke tahap lanjut sehingga keberhasilan terapi menjadi lebih rendah, bahkan tak jarang satu-satunya pilihan terapi adalah cangkok hati.

Selain kepedulian yang rendah, ada persoalan lain yang perlu mendapatkan perhatian yaitu kelompok pasien hepatitis C yang disertai komplikasi penyakit lain. Salah satunya pasien hepatitis yang disertai Penyakit Ginja l Kronik (PGK).

Diperkirakan ada sekitar 30-60 persen pasien penyakit ginjal kronik, yang tertular infeksi hepatitis. Jika tertular virus hepatitis C, maka persoalannya menjadi semakin rumit karena obat-obatan untuk hepatitis C yang tersedia saat ini belum optimal jika diberikan pada pasien PGK.    

Menurut DR. dr. Rino Alvani Gani, SpPD-KGEH, hepatolog yang saat ini menjadi Ketua Komite Ahli Heptitis di Kementerian Kesehatan RI, pasien PGK umumnya tertular hepatitis melalui hemodialisa meskipun sampai saat ini masih belum jelas di tahap mana terjadinya penularan. Di negara maju seperti di Jepang misalnya, hanya sekitar 1-5 persen kasus penularan hepatitis C melalui proses hemodialisa, tetapi di Indonesia angkanya sangat besar mencapai 30-60 persen.

Keparahan penyakit dan kualitas hidup pasien PGK yang tertular hepatitis C, lanjut dia, umumnya jauh lebih buruk dibandingkan mereka yang memiliki PGK saja. Angka harapan hidup juga lebih rendah. Kelompok pasien ini, menurut Rino, harus lebih diperhatikan terutama terkait terapinya.

Munculnya terobosan dengan ditemukannya obat hepatitis C, yaitu obat antivirus dari golongan Direct Acting Antivirus (DAA), membuat target terapi hepatitis C saat ini adalah kesembuhan. Mengapa? Respon terapi dengan DAA sangat tinggi, mencapai di atas 90 persen bahkan 98 persen.
Keunggulan DAA antara lain efek samping sangat rendah dan mudah dikonsumsi karena dalam bentuk sediaan oral.

Beberapa DAA sudah teregistrasi di BPOM di antaranya sofosbuvir dan  simeprevir, serta beberapa yang tengah dalam proses registrasi. "Tetapi obat-obatan ini tidak dapat diberikan pada penderita hepatitis C yang disertai PGK, karena semuanya disekresi di ginjal sehingga memperburuk kondisi ginjal mereka yang memang sudah bermasalah.

Padahal terapi hepatitis C pada pasien PGK sangat direkomendasikan agar mereka dapat menjalani transplantasi ginjal," jelas Rino yang juga Kepala Divisi Hepatobilier di RSCM/FKUI Jakarta.

Sebenarnya, l anjut mantan ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) ini, sudah ada obat dari golongan DAA terbaru yang aman diberikan pada pasien PGK yaitu Grazoprevir + Elbasvir. Obat ini disekresi di hati sehingga aman untuk ginjal, dan memiliki efektivitas setara dengan DAA lainya. Tetapi obat ini masih terkendala izin edarnya dan saat ini masih menunggu proses registrasi di BPOM.

Rino berharap sebelum akhir tahun ini grazoprevir+ elbasvir dapat mengantongi ijin edar sehingga dapat diakses pasien yang memerlukan.

Dengan tersedianya obat untuk penderita hepatitis C yang juga menderita PGK, diharapkan tidak ada lagi kelompok pasien yang tidak mendapatkan terapi optimal, sehingga target eliminasi hepatitis di tahun 2030 dapat tercapai.

"Target di tahun 2030 untuk eliminasi hepatitis itu mencakup semua jenis infeksi hepatitis. Untuk eliminasi sampai 0 persen memang tidak mungkin. Namun tujuannya adalah menurunkan jumlah penderita sebanyak mungkin, untuk menekan beban bia ya kesehatan.

Program pemerintah dalam hal ini Kemenkes melalui Kasubdit Hepatitis sudah benar, hanya mungkin kendalanya di sumber daya manusia yang menjalankan program ini. "Jadi, saya kira ini tugas kita bersama agar semua pihak mendukung program eliminasi hepatitis, termasuk masyarakat sipil, media massa, tenaga kesehatan, dan instansi terkait," papar Rino.

Program skrining dan promosi kesehatan yang terkait dengan hepatitis menurut dia juga harus menjadi prioritas.

Di kesempatan terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Dirjen P2P Kemenkes RI, Dr. Wiendra Woworuntu M.Kes menjelaskan, setidaknya 15 persen penduduk Indonesia terinfeksi hepatitis C.  Kelompok usia tertinggi infeksi hepatitis C di Indonesia adalah 50-59 tahun, namun untuk kelompok usia 35-39 saat ini cenderung ada kenaikan.

"Ini adalah kelompok usia produktif, yang tentu akan membawa dampak yang lebih besar," jelas dr. Wiendra dalam diskusi tentang "Infeksi Hepatitis C dan Penanganan Komplikasinya" di Jakarta, pertengahan Agustus lalu.  
Hepatitis C ditularkan melalui kontak darah, oleh karena itu skrining harus diprioritaskan pada kelompok yang berisiko seperti pengguna narkoba suntik, pasien hemodialisa, keluarga pengidap hepatitis C, penerima transfusi darah, tenaga kesehatan, pasien cangkok organ dan lainnya.

Rino menambahkan, bagi pasien PGK, untuk menurunkan risiko tertular hepatitis, sebaiknya melakukan hemodialisa di satu tempat hemodialisa saja, tidak berpindah-pindah. Selain itu, pihak penyedia layanan hemodialisa sebaiknya mengunakan alat-alat sekali pakai (disposable).

قالب وردپرس

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Akses Obat untuk Pasien Hepatitis C Disertai PGK Perlu Dipercepat"

Posting Komentar