Kisah Miris Bayi Debora dan Kemarahan Ibunya

Kisah Miris Bayi Debora dan Kemarahan Ibunya


Bayi empat bulan Tiara Debora Simanjorang kini sudah beristirahat di alam baqa. Putri pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi itu meninggal di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta Barat, karena diduga tidak mendapatkan pelayanan yang maksimal karena masalah biaya.

Usai melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Henny menceritakan kronologisnya. Awalnya, Debora diserang pilek dan pada Sabtu (2/9/2017). Lalu, dia dibawa ke RS Cengkareng, rumah sakit tempat dulu Debora lahir.

"Dokter sarankan nebulizer (obat yang disuntikkan untuk pengencer dahak). Saya lakukan perawatan terhadap anak saya," ujar Henny di kantor KPAI, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (11/9/2017).

Setelah berobat ke RS Cengkareng, ternyata tak ada perkembangan positif. Debo ra masih sering batuk dan menangis.

"Malam tidur agak nyenyak. Tapi ada keringat, mau saya ganti alas bantal, kayaknya sesak. Nggak pakai mikir langsung saya pergi ke RS Mitra Keluarga Kalideres karena paling dekat dengan rumah," kata Henny.

"Seorang ibu punya feeling kepada anaknya. Tujuan menyelamatkan anak. Mereka (pihak RS) berikan pertolongan pertama kasih oksigen, penyedotan dahak. Saya tidak bilang dokter melakukan pembiaran," Henny menambahkan.

Debora kemudian dibawa ke RS Mitra Keluarga. Dia disarankan untuk segera masuk ke ruang PICU karena memiliki gangguan pernafasan.

"Saya bilang silakan mana yang terbaik. Selanjutnya pihak rumah sakit menanyakan pakai asuransi atau tunai," kata dia.

Rudianto menjelaskan anaknya pakai BPJS Kesehatan. Pihak rumah sakit mengatakan Mitra Keluarga Kalideres belum kerjasama dengan BPJS.

Rudianto disarankan untuk pergi ke rumah sakit yang memiliki kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Rudianto mengikuti saran tersebut. Tak lama kemudian dia kembali lagi ke Mitra Keluarga karena semua rumah sakit yang bermitra dengan BPJS penuh.

Rudianto datang ke bagian administrasi. Dia diberitahu biaya penanganan anaknya Rp19,8 juta, belum termasuk ruang rawat per hari Rp900 ribu.

"Saya bilang nggak masalah, tapi yang penting anak saya masuk ruang PICU dulu," kata Rudianto.

Ketika itu, kata dia, Debora belum bisa langsung masuk PICU karena orangtua belum membayar uang muka Rp11 juta. Ternyata Rudianto ketinggalan dompet, dia pun cepat-cepat pulang untuk mengambilnya.

Sekitar 30 menit kemudian, Rudianto kembali dan mampir ke mesin ATM untuk mengambil uang Rp5 juta. Buru-buru dia ke ruang administrasi. Tetapi ternyata uang tersebut belum cukup untuk uang muka.

"Petugas admin menghitung itu duit. Dia bilang 'saya pegang dulu ya, saya tanyakan ke atasan saya'. Ternyata duit Rp5 juta itu anak saya nggak bisa masuk ruang PICU. Saya mohon, 'tolong mbak siang nanti saya bayar', ka rena anak saya perlu ditangani di ruang PICU dulu," katanya.

Di tengah kebingungan, Rudianto mendapatkan kabar dari istri yang menyebutkan ada tambahan Rp2 juta dari pinjaman. Sekarang Rudianto punya Rp7 juta. Tetapi, rumah sakit tetap menyatakan belum cukup.

"Selanjutnya saya dipanggil petugas lab. Ke kasir lab anak mau rontgen, cek darah. Bayar sekitar Rp1,7 juta untuk cek lab. Saya mohon ke petugas administrasi supaya bisa masuk ruang PICU, tapi nggak dibolehkan juga, jadi saya balik ke IGD lagi," kata dia.

Henny diminta manajemen RS untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya perjanjian untuk membayar selang untuk paru-paru Debora. Setelah itu, mereka diminta lagi untuk menyelesaikan proses administrasi sebagai syarat Debora bisa ditangani di ruang PICU.

"Saya ke admin lagi mohon, 'bu tolongan anak saya mau masuk ruang PICU. Saya akan lunasi susahnya. Terus dia bilang nggak bisa kalau Rp5 juta, bisanya Rp11 juta. Saya sudah bilang dimasukin saja dul u siang saya pasti bisa lunasi," kata Henny.

Di tengah kebingungan, tiba-tiba Henny mendapatkan kabar anaknya dalam kondisi kritis.

"Setelah itu ada suster datang dengan muka panik, akhirnya dia ngomong sama dokter yang nanganin. Saya tunggu beberapa menit, langsung dokter mengatakan keadaan anak ibu kritis," kata Henny.

Henny langsung menemui Debora.

"Saya pegang tangan sudah dingin. Anak ibu nafasnya masih ada, tapi detak jantung nggak ada. Dokter bilang kami lagi berusaha membagikan detak jantungnya. Saya berdoa mau anak saya kembali. 'Tuhan tolong jangan ambil anak saya'," kata Henny.

Tak terima dengan keadaan itu, Henny dan suami minta penjelasan manajemen rumah sakit.

"Saya bilang kok jadi saya kehilangan anak ya. Kalau saya ke sini kan mau mengobati anak. Saya tanya kenapa kondisinya jadi memburuk. Saya tanya kenapa ya, tadi bilang sudah mulai membaik tapi nggak 100 persen atau belum stabil," katanya.

Manajemen menjelaskan Debora men inggal karena tidak segera dirawat di ruang PICU.

"Saya kesal anak saya meninggal karena nggak masuk PICU. Saya bilang kalian jahat ya, terus dia bilang minta maaf, karena dia cuma karyawan di sana," kata dia.

Kemarahan orangtua Debora tak sampai di situ saja. Mereka kecewa berat dengan layanan petugas ketika mereka hendak membawa jenazah pulang.

"Ada suster gayanya agak cuek masuk ruangan. 'Dia bilang ini gimana ya. Kalau bawa jenazah itu pakai ambulance, minimal pakai mobil yang tertutup'," kata Henny.

"Saya bilang lu mau ngomong prosedur sama saya? Saya bilang selamatkan dulu anak saya. Dia bilang kalau ada razia RS tersebut yang kena. Saya langsung bilang saya yang tanggung jawab, dia langsung bilang terserah," Hanny menambahkan.

Dala konferensi pers di Dinas Kesehatan, manajemen Rumah Sakit Mitra Keluarga membantah tidak melayani perawatan bayi Debora.


Direktur Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres Fransisca Dewi menegaskan petugas telah memberikan penanganan medis sesuai prosedur.


"Soal pelayanan emergensinya, kami sudah sampaikan secara detail kepada dinas kesehatan, bahwa tidak demikian (menolak merawat Debora)," kata Fransisca.

قالب وردپرس

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Miris Bayi Debora dan Kemarahan Ibunya"

Posting Komentar