Kisah Perjalanan Ananda Sukarlan Temui Suku Aborigin di Australia

Kisah Perjalanan Ananda Sukarlan Temui Suku Aborigin di Australia

Suara.com - Sekitar abad 18, ternyata pelaut-pelaut Makassar telah menjalin hubungan dengan suku Aborigin di titik utara Australia, titik terdekat dengan Indonesia. Mereka berlayar untuk mencari teripang, dan menjual rempah-rempah ke suku Aborigin. Catatan sejarah pertama kali adalah tahun 1803, di mana navigator Matthew Flindrs bertemu dengan enaam perahu dari Makassar. Mereka bercerita telah melakukan perjalanan ini beberapa kali selama dua dekade terakhir sebelum 1803 tersebut. Karena hal ini, terjadilah akulturasi, juga ada beberapa kata dari bahasa Makassar terserap ke bahasa Aborigin. Misalnya rupiya untuk uang, Balanda untuk orang asing, dan tentu saja trepang, serta pengenalan Islam. Banyak dari pelaut Makassar itu menetap di daerah sekitar Arnhem Land sehingg a banyak keturunan campuran juga.

Selama seminggu, di akhir bulan Juni lalu, saya berada di tengah-tengah suku kaum Aborigin di Australia Utara. Bukan berniat berpetualang, saya sedang meneliti musik dan budaya kaum Aborigin tersebut. Pasalnya, saya sedang membuat karya orkes "The Voyage to Marege" yang menceritakan tentang hubungan pelaut-pelaut Makassar yang datang ke Marege' atau sekarang bernama Arnhem Land (sekitar 500 km dari Darwin, kota terbesar terdekat) tersebut.

Karya ini adalah permintaan dari Pemerintah Australia lewat Kedutaan Besarnya di Jakarta, bekerja sama dengan Darwin International Festival. Rencananya, karya ini akan dipertunjukkan secara bertahap, pertama di Teater Jakarta (Taman Ismail Marzuki) pada 31 Agustus mendatang, sebagai hadiah Kedutaan Besar Australia untuk publik Indonesia yang merayakan kemerdekaannya. Dan karena ini adalah "hadiah", konser ini digelar gratis dan terbuka untuk umum. Sementara konser kedua akan digelar di  Darwin International Festival pada Agustus tahun depan.

Ini berasal dari keinginan Pemerintah Australia untuk memperkenalkan budaya Aborigin yang unik dan kaya ke dunia internasional. Berhubung adanya sejarah hubungan Makassar-Aborigin ini, Australia menuturkan keinginan supaya saya membuat karya musik ini. Makassar International Writers' Festival (MIWF) pun telah menaruh perhatian dan merencanakan pergelarannya di edisi mereka mendatang.

Kebetulan saya diundang oleh MIWF pada Mei lalu (2017) sebagai pembicara. Kedatangan saya ke sana, saya gunakan untuk berkunjung ke Kabupaten Pangkep daerah Bugis di mana saya berbincang-bincang dengan seorang Bissu tentang hal ini dan tentang musik. Tapi ternyata memang yang ke Australia abad 18 itu lebih "proyeknya" orang Makassar, bukan orang Bugis, meskipun ada catatan bahwa ada beberapa orang Bugis yang ikut di kapal mereka. Walaupun demikian, saya banyak mendapatkan masukan
tentang budaya daerah Bugis dan Makassar, serta perbedaannya. Yang paling penting, sewaktu berbicara dengan Rich ard Mathews, Konsul Jenderal Australia di Makassar bulan Mei lalu, beliau memberi saya buku "The Voyage to Marege" karya Campbell Macknight yang sangat berguna bagi saya. Judul karya saya juga akhirnya mengambil judul buku tersebut.

Saya ke Nhulunbuy tempat tinggal suku Yolngu selama sekitar satu pekan untuk mempelajari tradisi musik mereka, terutama dengan didgeridoo (alat musik tradisional mereka). Saya juga banyak berbicara dengan anggota suku Yolngu tentang sejarah, kehidupan sehari-hari dan kepercayaan mereka. Nhulunbuy terletak sekitar 700 kilometer dari kota Darwin, Ibu Kota Northern Territory. Dari Darwin saya naik pesawat selama satu jam menuju Gove, kota terdekat yang memiliki bandara. Hanya ada dua penerbangan ke sana, dari Darwin dan dari Cairns, dan hanya ada satu perusahaan penerbangan ke Gove, yaitu AirNorth. Kebetulan penerbangan kami telat sampai lima jam lebih, dan sewaktu saya bertanya apakah ada kompensasi untuk itu, para petugas malah heran. Ternyata karen a mereka memonopoli trayek tersebut, hal tersebut sudah biasa, dan kalau ada yang mengeluh, yaaa .... take it or leave it!

Kami menaiki pesawat kecil berbaling-baling yang hanya berkapasitas untuk 29 orang. Petugasnya hanya dua, yaitu sang pilot (yang menyapa kami para penumpang tanpa mikrofon saat dia menaiki pesawat) dan satu orang lagi yang merangkap pramugara dan mekanik (dan mungkin pilot cadangan?). "Pramugara" bukanlah istilah yang tepat, karena selama perjalanan memang tidak ada pelayanan makanan, hanya ada beberapa botol air minum bagi penumpang yang membutuhkan.

Provinsi Northern Territory, dengan Ibu Kota-nya Darwin memiliki keunikan sendiri. Populasi buaya dewasa lebih banyak ketimbang manusianya. Pada 2016, menurut sensus hanya ada 211 ribu penduduk di kota tersebut. Sebanyak 30 persen di antaranya adalah suku Aborigin. Sedangkan jumlah buaya (gabungan antara buaya air tawar, air payau dan air laut) diperkirakan hampir mencapai 300 ribu ekor. Selain itu, jumlah korban serangan buaya meningkat dalam lima tahun terakhir. Selama kami di sana, kami melihat beberapa buaya di semak-semak dari jendela mobil, tapi tidak ada yang muncul saat kami sedang berjalan kaki atau duduk di pantai.

The Voyage to Marege ini akan menggunakan didgeridoo sebagai solois diiringi orkes simfoni, dan mengeksploitasi elemen musik asli Aborigin, Makassar serta elemen musik Arab untuk menggambarkan pengaruh Islam. Dua elemen dari latar belakang berbeda ini adalah cara untuk menjembatani dua genre musik yang berbeda, yakni etnis dan tradisi klasik, geografis serta ruang dan waktu. Pemain didgeridoo adalah Djakapurra Munyarryun yang merupakan asli Aborigin. Konser pada tanggal 31 Agustus ini akan berdurasi berkisar 25 menit. Tetapi pada konser yang digelar di Darwin Festival tahun depan, akan memiliki durasi yang lebih panjang lagi.

Rencananya Djakapurra akan tiba di Jakarta mulai latihan dengan Ananda Sukarlan Orchestra pada 28 Agustus mendatang, atau empat hari menjelang pertunjukan yakni pada  31 Agustus. Sedangkan orkesnya sendiri akan mulai berlatih sekitar tanggal 25 Agustus atau 26 Agustus. Total kami semua bertemu bersama selama satu pekan. Selama berada di antara suku Yolngu ini saya banyak mencatat, mengumpulkan bahan, merekam, tapi sebetulnya belum menulis musiknya. Sayang waktunya .... saya cuma ingin banyak belajar saja hari-hari itu, budayanya, cara berpikirnya (yang sangat sangat terbuka, _by the way_) bahkan cara memasak makanannya! Dan tentu saja, walaupun wifi cukup sulit (di seluruh daerah Nhulunbuy hanya ada satu tempat dengan wifi, yaitu di Yirrkala Arts Center. Bahkan di satu-satunya penginapan, sebuah lodge--bahkan bukan hotel-- yang bernama "Walkabout" pun tidak tersedia wifi), posting di twitter dan instagram jalan terus! Saya ke sana bersama anak saya, Alicia. Dan Alicia banyak membuat dokumenter lewat video kameranya yang sedikit demi sedikit ia upload di kanal Youtube-nya.

Selain menggunakan materi musik tradisi suku Aborigin yang sudah turun temurun selama ratusan tahun The Voyage to Marege juga menggunakan melodi lagu daerah Makassar, Amma Ciang, sebagai motif utamanya. De ngan kata-katanya yang kira-kira terjemahannya adalah "biarpun aku harus mengarungi laut untuk keindahanmu ...", saya rasa lagu itu cocok menjadi titik tolak karya ini (selain melodinya buat saya sangat indah). Saya juga memasukkan unsur cinta (yang fiktif, tentu saja) di dalam karya ini, di mana solo flute dan solo didgeridoo menggambarkan dua tokoh yang bertemu dan jatuh cinta.

Karena The Voyage to Marege masih berkisar 25 menit untuk konser pada 31 Agustus nanti, program akan saya lengkapi dengan karya-karya komponis Australia Betty Beath (lahir 1932 dan kini tinggal di Brisbane) yang sangat terpengaruh oleh Indonesia: _Lagu-lagu Manis_. Betty Beath bersama Peter Sculthorpe (1929-2014) bisa dianggap sebagai dua komponis paling berpengaruh di Australia. Dalam kasus Betty Beath, ia pernah tinggal di Bali dan kalau mendengar musiknya, saya kadang tersipu-sipu karena seringkali dia lebih "Indonesia" dari musik saya. Betty pernah menulis sebuah karya untuk piano yang sangat inda h, yang didedikasikan untuk saya. Judulnya, yang bisa diprediksi, adalah "Merindu Bali". Dari Peter Sculthorpe akan saya mainkan karyanya "Small Town".

"Town" yang dimaksud adalah Thirroul, sebuah kota yang "frozen in a more innocent time" di dekat Sydney. Musiknya sendiri menggambarkan arsitektural kota kecil tersebut, termasuk menggambarkan Memorial Day (hari berkabung) untuk para tentara Angkatan Laut yang diselenggarakan tiap tahun di sana. Kapan-kapan saya akan menulis tentang dua komponis besar ini deh ...

Dari dua tokoh ini, kita justru bisa mengenal kekayaan musik (asli, tradisional, etnik, apapun istilahnya) Indonesia yang menjadi sumber inspirasi mereka. Sayang sekali kalau para musikus Indonesia sendiri tidak menyadari ini dan justru masih sangat berkiblat ke "Barat". Itu sebabnya mereka adalah dua komponis favorit saya, selain memang musik mereka memang indah dan berkarakter sangat kuat. Masing-masing memiliki caranya sendiri untuk mengolah elemen-elemen musik yang menginspirasi mereka dari Indonesia, sehingga justru mereka menemukan jati diri mereka sendiri.

Selain itu, saya akan memperkenalkan pianis muda sangat berbakat lulusan S2 bidang musik dari Royal College of Music (London), Stephanie Onggowinoto memainkan karya-karya Ismail Marzuki yang saya ubah menjadi Piano Concerto (orkes dengan sol ois piano). Saya yang akan memimpin orkes saya sendiri, Ananda Sukarlan Orchestra, memainkan semua ini.

Harapan saya, semoga konser ini, baik dengan karya Sculthorpe, Beath dan karya baru saya ini dapat mempererat persahabatan Indonesia dan Australia yang ternyata sudah dirintis oleh para pelaut Makassar di abad 18.

Ananda Sukarlan,
komponis & pianis
IG & twitter @anandasukarlan

قالب وردپرس

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Perjalanan Ananda Sukarlan Temui Suku Aborigin di Australia"

Posting Komentar