Cinta yang Redup Perempuan Yazidi Usai Perbudakan ISIS
Suara.com - Kekhalifahan ISIS di Irak kini memasuki masa senjakala. Masa keemasan mereka yang singkat, berada di tubir kematian saat militer dan rakyat Irak membebaskan jengkal demi jengkal tanah airnya. Namun, bagi perempuan Yazidi, dunia masih suram.
Sejak ISIS menjejakkan kakinya di Irak, kaum Yazidi menjadi salah satu target genosida. Oleh gerombolan itu, Yazidi dianggap kaum sesat hanya lantaran tetap mempertahankan keyakinan spiritual mereka terhadap kepercayaan pra-Zoroastrian yang dipadukan dengan tradisi Kekristenan dan Islam.
ISIS, seperti dituliskan jurnalis lepas di wilayah Kurdistan Irak, Cathy Otten dalam artikelnya di The New Yorker, Kamis (31/8/2017), secara sistematis melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan di komunitas-komunitas Yazidi.
Sejak tahun 2014, kaum Yazidi yang terbunuh mencapai ratusan orang, bahkan besar kemungkinan mencapai ribuan orang.
Kekinian, sedikitnya 50 ribu kaum Yazidi masih berada di wilayah pengungsian dan persembunyian di wilayah pegunungan Sinjar. Mereka susah payah terus bertahan hidup di bawah teriknya panas Matahari bulan Agustus.
***
Leila, perempuan Yazidi berusia 23 tahun, sudah berupaya menempatkan segala ingatannya tentang hidup di kamp ISIS pada palung paling dalam pikirannya. Namun, upanyanya sia-sia. Ia tak bisa berhenti mengingat betapa menyakitkannya hidup sebagai budak nafsu gerombolan ISIS.
Ia adalah satu dari sedikitnya 600 perempuan Yazidi yang diculik ISIS dari daerah Sinjar. Ia dibawa ISIS ke Raqqa, Suriah. Di sana, ISIS menjual Leila di pasar budak.
Leila yang masih muda dibeli oleh seorang petani di desa Arab Sunni dekat Sinjar. Dia tahu laki-laki tersebut. Saat dirinya masih kecil, petani itu sudah dianggapnya seperti ayah sendiri. Leila berharap petani itu adalah penyelamatnya.
Namun, Leila terlalu lugu menebak kedalaman pikiran seseorang. Tiga hari setelah dibeli, laki-laki itu justru kembali menjual Leila ke komandan ISIS. Sejak itu, tahun demi tahun, Leila terpaksa menerima pemerkosaan dan penganiayaan secara rutin terhadap tubuh dan jiwanya.
"Dia mengatakan kepadaku, komandan ISIS yang memilikinya selalu memperlakukannya secara buruk, sangat buruk, sangat bertentangan dengan perintah-perintah Tuhan," tulis Cathy Otten, dalam artikelnya di The New Yorker.
Pada musim semiâ"Maret hingga Juniâ"tahun 2016, Leila (nama samaran yang diberikan Otten) menjalin kontak dengan sindikat penyeludup yang berhasil membawanya ke daerah bebas Kurdi Irak.
Tujuh bulan setelah berhasil melarikan diri dari tangan ISIS, Leila hidup di kamp kecil kaum Yazidi yang diselamatkan para pejuang Kurdi.
Sepekan setelah menghidu udara bebas, Leila diselimuti aura optimistis. Ia berharap bisa bertemu dan kembali berkumpul dengan keluarganya.
"Tapi, ketika aku kembali bertemu dengannya, dia masih syok dan berjuang agar bisa menjalin komunikasi secara baik dengan orang lain. Dia selalu dihantui mimpi buruk, dan paranoid, khawatir kembali diculik ISIS," tulis Otten.
Pihak otoritas keagamaan Yazidi selalu menyambut baik umatnya yang pulang setelah diperbudak ISIS. Tak terkecuali perempuan, yang habis-habisan dieksploitasi gerombolan tersebut.
Tapi, seperti yang Leila katakan kepada Otten, menyesuaikan diri dengan kehidupan keluarga itu sulit.
"Kaum Yazidi tidak akan pernah pulih. Bahkan, jika aku masih bisa jatuh cinta dan menikah, aku sadar ada yang rusak dan tak lagi bisa diperbaiki di dalam diriku," kata Leila kepada Otten.
Kekinian, mayoritas kaum Yazidi tinggal di kamp-kamp pengungsian di wilayah Kurdistan, utara Irak. Sejumlah dari mereka sudah memberanikan diri pulang ke Sinjar, wilayah tempat sebagian besar komunitas mereka berdomisili. Namun, kehidupan mereka masih diliputi ketakutan.
Selama tiga tahun terakhir, distrik Sinjar dikuasai banyak faksi militer secara bergantian. Tahun 2014, Sinjar dikuasai oleh Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang berhaluan Marxis-Leninis-Maois dan menjadi musuh bebuyutan pemerintah Turki.
Setahun selanjutnya, 2015, tentara pemerintah Kurdi Irak yang tenar disebut "Peshmerga" ganti mengontrol Sinjar.
Setelah ISIS benar-benar terusir, PKK beserta sayap militernya berkukuh tak mau melepaskan kontrolnya terhadap Sinjar. Tak pelak, mereka harus berhadap-hadapan dengan Peshmerga. Lagi-lagi, kaum Yazidi belum bisa mendapatkan kepastian masa depan di daerah tempat komunitasnya hidup sejak berabad-abad lalu.
"Kami hanya ingin pergi ke sesuatu tempat yang aman," tutur Mehbed, perempuan Yazidi berusia 57 tahun, sembari meninabobokkan cucunya di dalam rumah semi-permanen di perbukitan Kurdistan Irak.
Sang suami, Barakat, memberanikan diri memulai bercocok tanam tomat dan mentimun di dekat rumah tersebut. Mayat-mayat gerombolan ISIS masih tampak tergeletak di rumah tetangga mereka, sebab lokasi kuburan massal di dekatnya sudah terlampau penuh.
"Seluruh desa ini sudah hilang untuk selamanya," tutur Barakat.
***
Leila, di tengah kegamangannya mengenai masa depan, masih bisa menuturkan kebingungannya terhadap negara-negara koalisi anti-ISIS.
Perempuan itu menyimpan banyak pertanyaan perihal kenapa negara-negara koalisi tersebut lebih mementingkan merebut kembali tanah-tanah dari ISIS ketimbang menolong warga sipil seperti Yazidi.
"Terkadang aku sangat sakit ketika menonton televisi. Aku melihat berita tentang militer berhasil mengambilalih daerah dari ISIS. Tapi, di balik itu semua, ada ribuan Yazidi masih mendekam di balik terungku," sesalnya.
 "Aku, atau kami semua, tahu ada banyak kaum Yazidi yang berada di penjara-penjara ISIS di Raqqa, Suriah. Tapi kenapa para tentara tak mau pergi ke sana untuk membebaskan mereka. Mengapa mereka hanya ingin mengambil tanah-tanah dari ISIS saja," tanya Leila, putus asa.
0 Response to "Cinta yang Redup Perempuan Yazidi Usai Perbudakan ISIS"
Posting Komentar